Subscribe

RSS Feed (xml)



Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sabtu, 05 Desember 2009

Saat Menegangkan sebagai Orangtua


Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Pernah ribut dengan anak? Kita merasa sudah menasihati, mewanti-wanti, dan menjelaskan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak, tetapi anak masih saja melakukan hal-hal yang tak terduga. Urat syaraf kita menegang karena anak membangkang. Ada sebagian orangtua yang menangis karena merasa anaknya tak mengerti kemauan orangtua. Padahal sudah banyak diingatkan, dimarahi, bahkan dihukum.

Lonjakan tekanan emosi ini akan lebih menegangkan lagi ketika ada tamu datang ke rumah kita, sedang berbelanja di toko, atau saat melakukan perjalanan jauh bersama anak. Semenjak usia dua tahun, anak sepertinya tahu bahwa dalam situasi-situasi seperti itu kendali orangtua melemah. Ibu tak akan mengeluarkan teriakan yang menakutkan, bapak tidak mungkin berdiri mengacungkan tangan untuk memukul, seheboh apapun tingkah anak. Mereka tahu, orangtua kerap kali tak berdaya menghadapi tingkah anak–setidaknya selama tamu masih berada di rumah.

Memasuki usia dua tahun, anak memang berubah. Para ahli menggambarkan usia ini–sampai sekitar empat atau lima tahun—sebagai the terrible twos (dua tahun yang mengerikan). Anak-anak semula begitu menyenangkan, mudah diatur, membuat kita bahagia karena tingkahnya yang lucu menggemaskan, begitu memasuki usia dua tahun berubah menjadi ketegangan, mulai menunjukkan keakuan, tak jarang menampakkan “perlawanan” dan mulai ingin mengatur lingkungan. Usia dua tahun adalah usia paling lucu sekaligus membuat kita sulit tertawa. Ia ingin diperhatikan dan terutama dilibatkan. Itulah sebabnya anak bertingkah heboh.

Setidaknya ada dua hal yang membuat anak seperti itu. Pertama, anak ingin mendapat perhatian dan penerimaan dari orang lain, misalnya tamu. Tingkahnya akan lebih heboh lagi bila ia merasa di-persona-non-grata-kan (tidak disenangi) atau merasa tidak dianggap manusia. Ia merasa sudah melakukan yang terbaik, berlari keluar untuk menyambut tamu, berinisiatif menanyakan nama dan alamat, tetapi tamu yang datang menampakkan sikap tidak membutuhkan anak kecil itu.

Kedua, anak merasa kehilangan perhatian dari orangtua saat tamu datang. Sebelum usia dua tahun, orangtua selalu melibatkannya, menceritakan tentang kelucuannya, menunjukkan kehebatan sekaligus mengajaknya berdialog di depan tamu. Tetapi begitu memasuki usia dua tahun, atau beberapa bulan sebelum itu, kita mulai “mengabaikan dia”. Atas sebab itu, anak bertingkah menghebohkan untuk merebut perhatian. Tentu saja ini harus dibedakan dengan perilaku anak yang memang gesit dan meriah gerak maupun suaranya, tak peduli ada tamu atau tidak. Hanya saja, saat ada tamu kita lebih sensitif mendengar teriakan mereka yang mengagetkan.

Sepanjang saya perhatikan, anak-anak cenderung lebih tenang apabila mereka merasa tamu datang tidak hanya membutuhkan orangtua mereka. Anak-anak itu menampakkan perilaku yang lebih kooperatif bila mereka ikut disapa–satu atau dua menit—sebelum berbicara dengan orangtua.

Sikap orangtua terhadap anak juga turut berpengaruh. Kalau anak-anak disuruh masuk seketika, begitu ada tamu datang, kerapkali yang terjadi adalah ketegangan yang melelahkan. Saat-saat menemui tamu penuh pergolakan untuk menahan diri dan gusar dengan teriakan anak. Sebaliknya, ketika kita memiliki sedikit waktu untuk berbicara baik-baik dengan mereka, memberi pengertian dengan menceritakan siapa tamu yang datang dan apa keperluannya, anak cenderung lebih bisa menempatkan diri.

Jarang-seringnya tamu datang juga mempengaruhi dahsyat-tidaknya perilaku anak. Anak-anak yang di rumahnya sering kedatangan tamu, akan lebih tenang dibanding mereka yang jarang menerima tamu. Begitu ada yang datang, bagai musim kemarau disiram hujan, anak-anak itu segera berteriak lantang, bertingkah dengan selepas-lepasnya dan sibuk mencari perhatian. Tingkah anak yang memusingkan itu akan lebih menegangkan lagi jika tamu datang di saat anak sedang mempunyai permintaan dan tidak dituruti oleh orangtua. Kesempatan yang sangat bagus untuk memaksa orangtua.

Khusus berkait dengan rengekan anak saat tamu datang, ada yang perlu kita perhatikan. Tak jarang orangtua menyerah hanya demi “menjaga nama baik”, padahal dampaknya sangat buruk. Kadang orangtua menolak membelikan es krim dengan alasan tidak punya uang. Ketika anak merengek atau menangis, orangtua bersikeras tidak mau membelikan. Tetapi begitu rengekan dilakukan di hadapan tamu, segera keluar uang “pembungkam mulut”. Anak memang seketika terdiam, tetapi pada saat yang sama mencatat setidaknya mencatat empat pelajaran penting yang berbahaya.

Pertama, anak belajar berbohong dengan contoh nyata dari orangtua. Bukankah tadi orangtua mengatakan tidak punya uang? Dan bukankah orangtua ternyata dapat memberinya uang saat tamu datang? Padahal tamu datang tidak membawakan uang untuk orangtua.

Kedua, anak belajar memaksa dengan menggunakan tangis dan kekerasan. Ketika ia meminta baik-baik, orangtua tidak menuruti. Tetapi begitu ia berteriak keras, menangis, bila perlu mengamuk, orangtua segera menuruti. Pengalaman yang sangat berkesan sehingga layak menjadi “pegangan” dalam menghadapi orangtua.

Ketiga, anak belajar mempermalukan orangtua dan kelak orang lain–na’udzubillahi min dzalik—demi memperoleh apa yang diinginkan. Belajar dari pengalaman di depan tamu, anak menemukan pelajaran bahwa yang membuat orangtua bersegera menuruti adalah rasa malu. Orangtua tidak ingin kehilangan muka di hadapan tamu.

Keempat, anak belajar tidak mempercayai orangtua. Orangtuanya mengatakan tidak punya uang, tetapi ternyata mampu memberi uang saat tamu datang. Berarti orangtua telah berbohong, tidak berbicara dengan qaulan sadida (perkataan yang benar) sebagaimana diwasiatkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam Al-Quran. Cara menampik keinginan anak tidak dilakukan dengan alasan yang benar, alasan yang mendidik anak, tetapi dengan alasan yang diada-adakan. Tidak punya uang memang alasan yang paling mudah kita cari, terutama bagi para orangtua yang malas berpikir jernih.

Agar ingatan kita lebih segar dan bekasnya di hati lebih kuat, mari kita simak kembali wasiat Allah Ta’ala:

“Dan hendaklah orang-orang pada takut kalau-kalau di belakang hari mereka meninggalkan keturunan yang lemah, dan mencemaskan (merasa ketakutan) akan mereka. Maka bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan qaulan sadidan (perkataan yang benar).” [An-Nisaa’: 9]

Masya Allah! Begitu kecil kelihatannya, namun begitu besar akibat yang ditimbulkan oleh kata-kata yang salah. Berawal dari hilangnya kesabaran dan keinginan untuk menyelesaikan masalah dengan segera (isti’jal), kita dapat menuai akibat yang sangat panjang. Hanya karena kita tak tahan mendengar tangisan, kita bisa menuai airmata tak habis-habisnya. Hanya karena malu di depan tamu atau pengunjung supermarket yang sebenarnya tidak saling kenal, kita bisa menanggung malu yang lebih besar. Na’udzubillahi min dzalik, tsumma na’udzubillahi min dzalik. Semoga Allah Yang Membolak-balikkan Hati, membaguskan akhlak anak-anak kita, memelihara iman mereka, dan meneguhkan kepercayaan mereka kepada kita selaku orangtua. Allahumma amin.

Bicara tentang kata, teringatlah saya kepada Bob Greene, yang pernah menulis artikel rangkuman dari bukunya berjudul He was a Midwestern Boy on His Own. Dalam artikel yang berjudul What Words Can Do (Apa yang Bisa Dilakukan oleh Kata-kata), Bob Greene menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kata. Kata Greene, “Terkadang, bahkan sesuatu yang paling sederhana pun membawa akibat yang selama-lamanya.”

Agaknya, ada yang perlu kita benahi kembali dalam hati kita, jiwa, ilmu pengetahuan, serta sikap kita. Sungguh, pada mulut kita terletak surga dan neraka kita, sekaligus surga dan neraka anak-anak kita. Maka apakah yang sudah kita lakukan?

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla membaguskan kita, keluarga, orangtua, dan keturunan kita seluruhnya. Semoga Allah Ta’ala ampunkan yang salah dan tinggikan apa yang benar dari langkah-langkah kita mempersiapkan anak-anak menjadi penolong agama-Nya. Allahumma amin. [www.hidayatullah.com]
Read More..